Poligami dan Kisruh Politik Negeri Ini

Tiba-tiba saja poligami menyeruak di balik korupsi. Kita tak perlu berapologi kalau poligami murni sebatas penyaluran seksual menggebu-gebu yang tak tertampung dalam satu rahim semata. Poligami selalu melahirkan kontroversi sekontroversi poligami itu sendiri dalam sejarah politik.
    
Di negeri ini, poligami lumrah melahirkan insiden politik. Lihat poligami Ken Arok yang melahirkan perseteruan politik antara anak-anak lain ibu dan bapak. Antara anak Ken Arok dengan Ken Dedes, anak Ken Arok dan Ken Umang juga antara anak Ken Dedes dan Tunggul Ametung. Nasab beda ibu melahirkan peristiwa politik berdarah  beruntun di singgasana Singasari dan Kediri. Tak jelas, apakah poligami yang melahirkan kudeta berdarah tersebut ataukah syahwat politik yang melatari poligami. Semua memilih kebenaran versinya sendiri. 
    
Di Indonesia modern, poligami juga melahirkan kontroversi. Ingat poligami Soekarno dengan para istrinya. Poligami terseret ke arah politik, menjadi permusuhan samar antara Soekarno versus partai-partai Islam utamanya Masyumi dan PSII. NU sebagai faktor lain ikut juga terseret dalam kisruh poligami Soekarno. Dalam buku klasik karya K.H Firdaus A.N berjudul Dari Penjara Ke Meja Hijau (1967) tertera persoalan tentang perkawinan Soekarno dengan Hartini. Firdaus A.N dengan analisa Ilimiah-Islamiahnya mempersoalkan perkawinan Soekarno dengan Nyonya Hartini Suwondo dalam buku “Analisa Riwayat Perkawinan Soekarno-Hartini”. Bagi Firdaus, perkawinan Soekarno tidak sah karena Hartini masih bersuami. NU sebagai faktor politik lain ikut diseret oleh Firdaus A.N dalam persoalan ini, pasalnya, karena NU memberi gelar Waliyul Amri Ad Dlaruri Bisy Syaukah kepada Soekarno. Suatu gelar yang memberi penyematan legalitas hukum Islam yang bagi Firdaus tak layak bagi Soekarno karena poligami yang dianggap melanggar itu.
    
Bisa saja poligami memiliki indikasi dengan politik, meski bukan satu-satunya faktor. Contoh nyata dalam hal ini adalah poligami Rasulullah dengan Sofiyah Binti Huyai. Abdut Tawab Haikal (1981) menyebutkan bahwa Sofiyah adalah seorang Yahudi Israel yang ayahnya tewas dalam perang Bani Quraidhah. Suami Sofiyah, Kinanah Bin Abi Al Huqaiq juga tewas dalam perang melawan kaum muslim di Khaibar. Sofiyah pun tertawan dan nabi memberi pilihan apakah kembali kepada kaumnya ataukah menikah dengan nabi. Sofiyah memilih opsi kedua yang ternyata memiliki dampak politis dalam relasi Islam-Yahudi. Dinikahinya Sofiyah menyebabkan stabilisasi politik antara Yahudi dan Islam saat itu. 
    
Memang poligami tak sembarang dilakukan. Indikasi stabilitas sosial menyertai poligami. Itulah sebabnya kenapa ayat poligami dalam Al Nisa’ ayat 3 dikaitkan dengan anak yatim. Menurut Tafsir Al Manar, kaitan antara anak yatim dan poligami  menunjukkan sisi penjagaan harkat sosial kalangan lemah. Menurut Musdah Mulia (1999) poligami dibolehkan di masa nabi demi menjaga stabilitas ekonomi anak-anak perempuan yatim yang ditinggal wafat ayahnya dalam perang Uhud.
    
Kini, poligami bertebaran di tengah fakta korupsi. Kehadirannya menyeruak bukan cuma karena kontroversi poligami itu sendiri tapi berkait dengan dana tak halal yang beredar di sekitar wanita-wanita peserta poligami. Poligami masuk kedalam wilayah perdebatan baru yang tak lagi teologis tapi juga moral politis. Adakah hubungan poligami dengan korupsi. Bisakah poligami menyebabkan para suami rakus dalam mencari harta demi memenuhi rayuan para istri. Bisa jadikah para istri sebagai tempat penyimpan paling aman dalam gerakan pencucian uang.
    
Poligami seperti ini adalah simbol tersembunyi. Seandainya KPK tak mengungkap kasus-kasus fantastis korupsi, wanita-wanita disekeliling Ahmad Fathanah dan Lutfi Hasan Ishaaq tak akan pernah terbeber ke muka publik. Dulu, raja-raja Jawa menyiarkan poligami sebagai lambang kekuasaan politik bersama payung kuning dan batik Parang rusak. Kini show para istri yang berderet terpaksa dipamerkan bersama mobil alphard dan rumah mewah. Poligami menjadi lambang budaya politik baru, ironisnya justru dengan konsep destabilisasi politik. Poligami membuat heboh dunia politik.
    
Korupsi yang mengitari wanita menjadi simbol terbaru. Korupsi menjadi kuasa setelah raga seksi dalam iklan dan film, lipstik dan obat pelangsing, senam body languange dan kontes kecantikan. Simbol ini justru menjadikan wanita-sentris dalam politik seperti kuota keterwakilan perempuan dalam Pemilu menjadi nisbi. Poligami menyerap setiap tanda dan makna tapi tak mampu memantulkannya kembali. Kisruh poligami disekitar korupsi mengingatkan kita pada The End of Sex George Leonard yang menyindir tentang seksualitas tanpa cinta sejati atau seksologi tanpa cinta yang murni. 

Foto Gurih Gadis ABG